M
|
anusia adalah homo laborans (mahkluk yang bekerja).
Dengan bekerja, manusia mengembangkan, menyempurnakan, baik dunia maupun
dirinya sendiri. Dengan bekerja, manusia ikut ambil bagian dalam karya
penciptaan bersama dengan Allah di dunia ini. Banyak persoalan terjadi dalam
kehidupan manusia karena kurangnya kesadaran akan campur tangan Allah dan lebih
sering mengandalkan egoisme pribadi.
Santo
Fransiskus dari Assisi adalah salah satu tokoh Abad Pertengahan yang melihat
kerja sebagai sesuatu yang amat penting dan berguna. Bagi Fransiskus, kerja
bukanlah suatu teori belaka, melainkan suatu kenyataan hidup yang harus
dipraktekkan dalam kehidupan konkrit dan dilaksanakan dalam hubungan dengan
sesama, alam ciptaan dan Tuhan sendiri.
Selama
hidupnya, Fransiskus bertekad untuk meniru dan mengikuti cara hidup, teladan
dan jejak Kristus, khususnya Kristus yang miskin dan menderita. Untuk
melaksanakan amanat agung dan melanjutkan misi karya ciptaan Allah di dunia
ini, manusia harus melibatkan Allah di dalam pekerjaan-pekerjaannya. Bagi
Fransiskus, kerja tidak boleh memadamkan semangat doa dan kebaktian yang suci.
Kerja yang dipahami oleh Fransiskus adalah suatu tindakkan yang lebih luas yang
mencakup seluruh ajaran Injil. Seluruh ajaran Injil, khususnya mengenai kerja,
harus diaplikasikan dalam kehidupan konkrit. Dengan demikian, kita akan mampu
menciptakan suatu dunia yang damai, sejahtera, adil dan makmur.
Kerja dalam Semangat Doa dan
Kebaktian Suci
Fransiskus
menjunjung tinggi pekerjaan sebagai sesuatu yang amat penting dalam
persaudaraannya. Walaupun demikian, pekerjaan itu tidak dilihatnya sebagai
sesuatu yang mutlak, melainkan sebagai sesuatu yang relatif. Dikatakan relatif
karena pekerjaan itu memiliki hubungan yang erat dengan Tuhan. Hubungan antara
pekerjaan dengan Tuhan di dalam doa, ditunjukkan secara jelas oleh Fransiskus
dalam Anggaran Dasar. Hamba Allah
yang hina dina secara tegas mengatakan kepada para saudaranya: “… hendaknya bekerja dengan setia
dan bakti, sedemikian rupa, sehingga mereka, sambil mencegah diri dari sikap
bermalas-malasan yang merupakan musuh jiwa, tidak memadamkan semangat doa, dan
kebaktian suci, yang kepadanya harus diabdikan hal-hal lainnya yang duniawi” (AngTBul
V: 1-2).
Cara
hidup para saudara dina adalah
melakukan sesuatu yang baik dan penuh cinta bagi semua mahkluk ciptaan dan
dalam kesatuan dengan Allah di dalam doa. Dengan memberi perhatian pada doa dan
“Kebaktian Suci” (Devote), pekerjaan
para saudara pertama-tama harus dilakukan di dalam persatuan dengan Allah dan
bukan pada sikap rajin demi pekerjaan itu sendiri. Dalam hal ini, Fransiskus
menyadari bahwa tiada suatu mahkluk pun di bawah kolong langit ini yang bebas
dari “genggaman” Allah. Ia juga mengajari para saudaranya untuk menyadari hal
itu dalam seluruh hidup dan tingkah laku mereka.
Melalui
doa semua hal-hal duniawi dikuduskan, termasuk pekerjaan manusia dan seluruh
aspeknya. “Fransiskus tidak percaya akan
daya kekuatannya sendiri, tetapi menaruh harapannya pada kasih sayang Ilahi;
maka ia terlebih dahulu menyerahkan segala kekhawatirannya kepada Tuhan dalam
doa yang hangat dan mendesak” (LM X: 1).
Dalam
kenyataan, orang tidak lagi memandang dan menghayati setiap kegiatan hidupnya
dalam kesatuan dengan Allah. Manusia menjadikan dirinya sebagai pusat dengan
menganggap segala keberhasilan yang diperoleh dari suatu pekerjaan adalah buah
dari usahanya sendiri. Bagi Fransiskus, orang yang menunjukkan sikap semacam
ini tidak berbeda dengan penyembahan berhala, hojatan terhadap Allah sendiri.
Fransiskus
tidak menginginkan hal ini terjadi di dalam persaudaraannya. Ia bahkan mengajak
semua orang, terutama para religius, agar mencintai doa di atas semuanya. Dalam
Legenda Mayor, Bonaventura mencatat
bahwa Fransiskus pernah mengatakan, “Seorang
religius harus menginginkan rahmat berdoa di atas segala-galanya, karena ia
yakin, bahwa tanpa rahmat itu tiada seorang pun dapat mencapai kemajuan dalam
pengabdian kepada Allah” (LM X: 1).
Pekerjaan Orang Miskin dan tidak
Terpandang
Cara
hidup para Saudara Dina didasarkan pada
Kristus sendiri. Perjumpaan dengan Kristus, yang selama hidup-Nya di dunia
menunjukkan model hidup miskin, telah mengubah hidup Fransiskus dan komitmennya
untuk mengikuti kemiskinan Kristus secara radikal. Fransiskus, pengikut Kristus
yang miskin, senang akan pekerjaan-pekerjaan tangan yang sederhana dan dianggap
rendah oleh orang lain. Karena itu, hamba Allah yang miskin mengajarkan supaya
para saudara menjadi hamba di rumah-rumah orang kaya, bukan mengejar kekayaan,
karier, kedudukan atau jabatan dalam masyarakat. Mereka hendaknya menjadi “lebih rendah dan tunduk kepada semua orang
yang tinggal di rumah itu” (AngTBul VII: 1-2).
Fransiskus
sangat menginginkan agar para saudara bekerja seperti orang miskin yang tidak
memiliki apa-apa, tidak mengejar kekayaan atau jabatan, melainkan sekadar memenuhi
kebutuhan hidupnya. Keterikatan akan harta benda, kekuasaan dan jabatan sering
memperbudak manusia, baik secara jasmani maupun rohani, sehingga menghalangi
seseorang untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Hamba
Allah yang miskin dan rendah hati ini senantiasa mengajak para saudaranya untuk
bekerja demi pelayanan kepada semua orang dalam terang kasih Kristus. Setiap
saudara harus hidup dalam kesederhanaan dan dengan demikian, membuka hati
kepada Allah dan sesama manusia, sebab mereka harus ingat bahwa “Orang lebih cepat dari gubuk naik ke surga
daripada dari istana” (1 Cel 42).
Kerja
Memperbaiki “gereja”
Teladan
kesederhanaan dan kemiskinan Fransiskus dalam bekerja, membawa pengaruh besar
bagi Gereja dan masyarakat pada masa itu. Kesederhanaan dan kemiskinannya telah
merestorasi Gereja dan masyarakat yang nyaris roboh. Paus Innosensius III
mengatakan bahwa, Fransiskus adalah orang yang akan menyokong Gereja dengan
aksi dan kata. Bukan hanya paus yang mengatakan demikian, tetapi juga seorang
Uskup pernah mengatakan bahwa melalui seorang religius dan kudus ini Gereja
akan diangkat dan disokong.
Dalam bekerja,
Fransiskus dan fransiskan bagaikan seorang “tukang bengkel” yang bekerja dengan
setia dan bakti di “bengkel” Tuhan yang miskin dan sederhana. Di “bengkel”
itulah para fransiskan bekerja memperbaiki masyarakat dan Gereja-Nya yang rusak
dan nyaris mau roboh. Bekerja sebagai seorang “tukang bengkel” berarti harus
mengenakan pakaian bengkel, bukan pakaian jaz dan berdasi. Untuk fransiskan,
kemiskinan dan kedinaan adalah “pakaian” bengkel yang khas bagi mereka.
Mewujudkan Gereja yang
miskin dan keberpihakan kepada orang miskin, merupakan panggilan kerja
Fransiskus dan fransiskan. Maka, yang khas dan seharusnya demikian dalam kerja
fransiskan adalah berpihak kepada orang miskin dan menderita. Tempat-tempat
kerja para fransiskan pun harus sesuai dengan identitas mereka sebagai seorang saudara dina. “Tempat kerja para
fransiskan adalah di daerah-daerah marginal (pinggiran), tempat-tempat rendahan
(bukan di areal-areal mewah), dan di mana pun ada orang miskin, sederhana dan
pinggiran (orang kusta “zaman” ini).
Sebagai orang Kristen dan pengikut
Fransiskus, kita dipanggil untuk bekerja memperbaharui Gereja yang sedang
rusak. Memperbaiki Gereja bukanlah pertama-tama merombak struktur bangunan
fisik dan menggantikannya dengan yang baru, melainkan membangun melalui
kesaksian hidup. Maka, salah satu langkah dasar bagi pembaharuan ialah bekerja
sebagai orang miskin dan tidak terpandang, tidak mengejar kekayaan, kekuasaan,
jabatan dan karier. Hal ini pertama-tama berarti pembaharuan hidup rohani. Pembaharuan
hidup rohani dalam bekerja adalah tidak memadamkan semangat doa dan kebaktian
yang suci.
Play Casino Review: Risk-Free Bet No Deposit on Dream
BalasHapusWelcome Bonus Details. No Deposit Free Bets Air Jordan 21 retro Available · Betting Terms cheap jordan 18 retro · Wagering Requirements · Player 먹튀 검증 사이트 Support · good air jordan 12 retro Minimum Deposit – £/€ 5 출장마사지 · Player